Perbedaan Pendidikan Indoneisa Era Orde Lama dan Orde Baru

Posted on

Perbedaan Pendidikan Indoneisa Era Orde Lama dan Orde Baru

Saat ini, sejak munculnya UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, setiap guru, baik tingkat TK, SD, SMP, maupun SMA, wajib memiliki kualifikasi akademik dari pendidikan tinggi. Sebelumnya, hanya guru yang akan mengajar SMP atau SMA saja yang harus bergelar sarjana atau program diploma empat.

Potret perkembangan pendidikan guru https://pgri-jateng.info di Indonesia, dapat dibagi dalam empat periode, yaitu pendidikan guru pada era Hindia Belanda, penjajahan Jepang, awal kemerdekaan hingga Orde Lama berakhir, dan Orde Baru hingga Reformasi.

Era Kemerdekaan dan Orde Lama

Pada awal kemerdekaan 1945, pemerintah menghadapi persoalan kekurangan tenaga pengajar, selain juga kekurangan gedung sekolah. Kekurangan guru tersebut disebabkan oleh setidaknya tiga hal. Pertama, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang menyebutkan pendidikan merupakan hak rakyat dan pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan nasional. Kedua, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 1951, provinsi juga memiliki wewenang untuk membangun dan menyelenggarakan Sekolah Dasar. Ketiga, pemerintah juga mencanangkan program wajib belajar pada tahun 1961.

Untuk mengatasi kekurangan guru tersebut, pemerintah kemudian mendirikan lembaga pendidikan guru sementara secara massal yang disebut Kursus Pengajar untuk Kursus Pengantar Kepada Kewajiban Belajar (KPKPKB). Pemerintah mendirikan KPKPKB pada bulan September 1950 melalui Keputusan Menteri Pendidikan No. 5033/F tertanggal 5 Juni 1950.

Siswa yang memasuki lembaga pendidikan ini adalah para pelajar lulusan SD dengan hasil yang baik, kesehatan baik, dan berwatak susila, serta berumur antara 15-18 tahun. Semua pelajar KPKPKB diharuskan mengikat kontrak dengan pemerintah dengan jaminan mendapatkan tunjangan yang diperoleh sebesar Rp 85 per bulan.

Lahirnya KPKPKB dirasa efektif dan dapat dengan cepat mengatasi masalah kekurangan tenaga pendidik. Terbukti, selama dua tahun KPKPKB didirikan, sudah dibangun 400 KPKPKB. Dengan banyaknya KPKPKB, kebutuhan akan tenaga guru untuk pelaksanaan wajib belajar dengan cepat dapat terpenuhi.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, KPKPKB ditingkatkan menjadi Sekolah Guru B (SGB) 4 tahun dan kemudian menjadi Sekolah Guru A (SGA) 6 tahun. Pada waktu bersamaan, didirikan pula kursus-kursus persamaan Sekolah Guru B (4 tahun, sesudah SD) dan persamaan Sekolah Guru A (3 tahun, setelah SMP) untuk meningkatkan tenaga pendidikan. Pada perkembangannya, kursus persamaan SGB dan SGA berubah menjadi SGB dan SGA. Sekitar tahun 1950, terjadi penambahan jumlah SGA dan SGB di seluruh wilayah Indonesia.

Sementara itu, untuk menyuplai pendidikan di sekolah menengah, pemerintah membuka program Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP), Kursus B-I yang lamanya 3 tahun, dan Kursus B-II yang lamanya 2 tahun sesudah B-I untuk diarahkan menjadi guru di Sekolah Lanjutan Atas (SLA).

Penyelenggaraan pendidikan guru di tingkat perguruan tinggi mulai berlangsung sejak tahun 1954 dengan didirikannya Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung, Malang, Batu Sangkar, dan Tondano untuk mendidik calon guru SLTA.

Pada tahun 1961, berdasarkan kesepakatan antara Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) dan Departemen Perguruan Tinggi, PTPG dimasukan ke dalam universitas sebagai Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ditujukan untuk mendidik calon sekolah lanjutan (baik lanjutan pertama maupun lanjutan atas). Dengan berdirinya FKIP, program-program PGSLP, Kursus B-I, dan B-II diintegrasikan dalam program FKIP.

Dalam perkembangannya, Departemen PD dan K menganggap bahwa FKIP sebagai lembaga pendidik calon guru tidak memenuhi harapan. Menteri PD dan K Prijono kemudian mendirikan Institut Pendidikan Guru (IPG) di bawah Departemen PD dan K sebagai alternatif pengganti FKIP yang berada di bawah Departemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Akibatnya, muncul dualisme penyelenggara lembaga pendidikan untuk guru sekolah menengah, yaitu Departemen PD dan K dan PTIP.

Keadaan tersebut menimbulkan keresahan di FKIP seluruh Indonesia. Dalam Konferensi Badan Koordinasi Senat Mahasiswa FKIP seluruh Indonesia pada tahun 1960, muncul tuntutan kepada Presiden Sukarno untuk membubarkan IPG.

Akhirnya, melalui Keppres 3/1963 pada tanggal 3 Januari 1963, FKIP dan IPG dilebur menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di bawah Departemen PTIP yang setara dengan universitas dan merupakan satu-satunya lembaga pendidikan guru untuk sekolah menengah. Sejak itu, jumlah IKIP terus bertambah hingga 10 IKIP. Di luar itu, di setiap provinsi yang tidak memiliki IKIP, berkembang FKIP di bawah universitas negeri.

Era Orde Baru dan Reformasi

Pada masa Orde Baru, Presiden Suharto menginstruksikan untuk mendirikan sejumlah 6.000 SD untuk mengatasi persoalan daya tampung. Akibatnya, muncul masalah kekurangan tenaga pendidik karena banyaknya sekolah yang dibangun.

Pemerintah kemudian mengembangkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) untuk mengatasi kekurangan guru. SPG sebenarnya sudah dicanangkan sejak tahun 1964, tetapi pelaksanaannya di setiap daerah baru terlaksana mulai tahun 1967. Pada tahun 1960-an, terdapat 82 SPG di Indonesia. Jumlah ini menurun pada tahun 1961-1965 yang kemudian meningkat kembali menjadi 123 SPG.

Pada saat dilaksanakan kebijakan SPG, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum SPG tahun 1968 yang kemudian disempurnakan menjadi kurikulum SPG tahun 1976. Penggantian kurikulum ini berdasarkan Keputusan Menteri P dan K tanggal 21 Juli 1976 No.0185/U/1976 tentang Pembakuan Kurikulum SPG.

Menjelang tahun 1980, SPG negeri mulai dikurangi karena jumlah guru yang dibutuhkan oleh sekolah-sekolah mulai tercukupi. SPG secara bertahap kemudian dialihfungsikan menjadi sekolah menengah atas lainnya. Alih fungsi tersebut dimulai pada tahun 1989 dan berakhir pada tahun 1990. Pada saat itu, SPG dialihfungsikan menjadi SMA, SMK, STM, SKK, maupun sekolah menengah atas lainnya.

IKIP maupun FKIP yang semula dimaksudkan mendidik guru SLTA kemudian juga mendidik guru SLTP dengan menyelenggarakan crash program PGSLP dengan beasiswa pada tahun 1970-an di samping juga menyelenggarakan PGSLA. Pada tahun 1989, SPG dilebur ke dalam IKIP/FKIP.

Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) juga berfungsi mendidik calon guru TK dan SD melalui program PGTK dan PGSD.

Pada tahun 1999 dan 2000, sepuluh IKIP berubah nama menjadi universitas dengan tetap mengemban tugas sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Jumlah tersebut terus bertambah, terutama dengan berkembangnya jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) swasta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *